15 Juni 2008


Keluarga Kecewa dengan Pemberitaan Media dan Asingkan Diri

Hujan deras yang mengguyur kota Surabaya dan Sidoarjo membuat kemacetan dibeberapa ruas jalan raya kedua kota bersebelahan tersebut. Matahari yang biasanya mengucapkan salam perpisahan di ufuk barat pun enggan menampakkan diri karena berselimutkan mendung. Hujan lebat seharian itu masih menyisakan rintiknya hingga sore.

Walau begitu, tak terlalu sulit ketika menemukan Desa Sidorono, selain dekat dengan bypass Krian Mojokerto, desa satu ini juga terkenal seperti halnya Porong Sidoarjo. Namun bukan karena semburan Lumpur Lapindo, akan tetapi dusun ini mencuat namanya lantaran ada salah seorang warganya yang acapkali diberitakan oleh media baik cetak maupun elektronik tentang musibah yang dialaminya di negeri Jiran, Malaysia.

Ya, Herlina Trisnawati, TKI yang dituduh membunuh majikannya di Malaysia, saat wartawan tabloid Kerja menanyakan tentang lokasi rumahnya kepada salah seorang warga desa, mereka langsung tanggap dan dengan ramah memberikan petunjuk dimana lokasi rumahnya berada. Tak terlalu sulit ketika saya mencari alamatnya, karena diantara semua rumah warga, hanya ada satu rumah yang menghadap ke utara dan sedikit terpencil jauh dari jejeran rumah warga lainnya. Konon rumah mungil itu dulunya dikelilingi ribuan pohon bambu, masyarakat seringkali menyebutnya dengan rumah bambu. Namun, sekarang bambu-bambu tersebut sudah agak jarang karena ditebang.
Disekeliling rumah terdapat hamparan sawah yang baru saja ditanami benih padi. Mungkin baru beberapa hari sehingga kesan hijau tanaman masih belum dijumpai, hanya genangan air hujan yang terlihat bak lautan kecil di persawahan.

Kendati demikian, saat wartawan tabloid Kerja menyusuri jalanan setapak menuju lokasi, terbesit rasa takut akan ular yang sewaktu-waktu muncul. Selain jalanan licin karena habis diguyur hujan, tidak ada lampu penerang disekitar jalan. Parahnya lagi, jalanan setapak itu bertambah gelap lantaran sekelilingnya ditumbuhi pohon pisang dan rimbunan rumput ilalang liar setinggi orang dewasa. Padahal waktu itu baru jam 5 sore, namun suasana yang terasa seolah jam 7 sore. Tempat ini mungkin sangat pas jika dijadikan tempat bertapa atau mengasingkan diri, disamping karena terpencil, jalanan menuju rumah sangat sulit dilalui karena terhalang parit dengan kedalaman sekitar 50 cm, alhasil kendaraan roda dua pun tak bisa masuk karena untuk melalui parit itu hanya ada dua batang pohon bambu yang diletakkan diatas kedua bibir parit sebagai jembatan kecil untuk lewat. Tentu saja kerena medan yang tak memungkinkan, saya pun terpaksa parkir sekitar 50 meter dari rumah itu. Ada perasaan was –was ketika harus meninggalkan motor, kendati tak begitu jauh, namun motor yang diparkir tidak kelihatan karena rimbunan pohon pisang ditambah lagi belum kenal daerah tersebut. Perasaan tidak nyaman pun langsung menyergap manakala menyusuri jalanan setapak itu, nuansa mistik begitu terasa.

Rumah sederhana ini agaknya belum selesai dibangun, batu bata merah itu masih kelihatan alias belum dilapisi semen. Tatanannya pun tidak rata, ada yang menonjol dan ada yang sedikit rapi. Kelihatan sekali kalau penggarapannya tidak maksimal. Lantai rumah pun masih semen dan window depan rumah pun masih ditutup papan triplek. Lama mengamati rumah itu hingga akhirnya memutuskan untuk segera masuk menemui si penghuni.

Sesampai di depan pintu, segera mengetuknya dengan cukup hati-hati. Karena suasana agak gelap, jadi lampu rumah pun menyala redup. Seorang wanita paruh baya dengan ramah menyambut kedatangan wartawan tabloid Kerja. Sebelum memperkenalkan diri, wanita yang masih terlihat raut kecantikannya walau tanpa make up itu sudah tahu bahwa dihadapannya adalah seorang wartawan yang akan mencari putrinya untuk mewawancarainya. Ia tidak terlalu kaget dengan kedatangan penulis, tampaknya ia sudah terlalu familiar dengan para pencari berita.

Wanita paruh baya yang ada dihadapan penulis ini adalah Ny. Nanik Hendrawati sang ibunda Herlina Trisnawati yang penulis cari. Herlina Trisnawati adalah putri ketiga dari pasangan Soetriosno dan Nanik Hendrawati yang tersandung kasus dengan tuduhan membunuh majikannya di Malaysia pada Agustus 2001 silam hingga mengakibatkan ia divonis hukuman gantung. Saat penulis mencoba untuk bertemu langsung dengan Herlina, gadis itu ternyata sedang tidak ada di tempat. Setelah selesai menjalani proses hukuman 8 tahun 7 bulan di penjara wanita Malaysia, ia telah kembali ke tanah air 14 April 2008 lalu. Lina (panggilan akrab Herlina Trisnawati) telah bekerja pada sebuah perusahaan yang tidak boleh disebutkan namanya di Surabaya. Menurut Ny. Nanik, sudah dua hari ini putrinya bekerja sebagai tenaga administasi bersama sang ayah yang menjabat sebagai satpam di perusahaan yang sama.

“Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia” kutipan children song di atas menggambarkan betapa besarnya kasih seorang ibu kepada anaknya. Pun demikian dengan apa yang dialami oleh Ny. Nanik Hendrawati, apapun tuduhan yang diberikan kepada putrinya naluri seorang ibu akan tetap melindungi dan menyayangi. Perempuan yang dulunya karyawan di jasa catering ternama di Surabaya ini mengaku sangat marah kepada beberapa pemberitaan media yang menjustifikasi bahwa putrinya pembunuh “Harusnya media tahu dan bisa membedakan antara membunuh dan dituduh membunuh. Harusnya mereka mengatakan bahwa anak saya dituduh membunuh,” begitulah tanggapannya berapi-api saat mengenang kasus yang menimpa putrinya 8 tahun silam.
Ketika menyinggung tentang kasus yang menimpa putrinya, Ny. Nanik dengan tegas menolak untuk berkomentar. Alasannya sederhana “Saya takut salah dan masalah ini sudah saya tutup untuk selamanya. Saya sekarang sudah hidup bahagia karena Lina sudah kembali dengan selamat, saya tak ingin apapun,” kilahnya sambil terus melipat tumpukan baju di atas sofa. Rupanya apa yang telah menimpa putrinya itu meninggalkan trauma yang dalam, tidak hanya bagi Ny. Nanik dan keluarga, akan tetapi bagi Lina sendiri.

Sore itu majikan yang sudah menganggapnya sebagai saudara itu membawa koran terbitan Malaysia. Karena kebetulan majikan catering yang sudah menganggapnya seperti saudara itu baru pulang dari Malaysia bersama suaminya. Saat majikannya itu menunjukkan pada Ny. Nanik akan gambar dan foto yang dimuat di koran, ia langsung tidak percaya bahwa apa yang dilihatnya itu adalah putrinya. Dalam koran itu tertulis jelas huruf besar ‘Migran Indonesia Membunuh Majikannya’ Ny. Nanik mengucek-ucek matanya, memastikan apakah benar gadis 18 tahun dengan tangan diborgol yang didampingi dua orang polisi wanita itu anaknya. Dengan seksama ia membaca baris per baris berita Malaysia itu, matanya tercengang saat membaca nama Herlina Trisnawati migran asal Indonesia dengan alamat Menur Pumpungan Surabaya. Bagai disambar petir disiang bolong, Ny. Nanik seketika lemas bahwa yang dibacanya itu adalah berita tentang anaknya yang baru 3 bulan pamit untuk bekerja di Malaysia. (naskah ini dimuat dalam tabloid Kerja Edisi 003 15 Mei 2008) Ulfie F/bersambung

0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online