14 Juni 2008

Djuhhari Witjaksono

Djuhhari Witjaksono
Sukses Jadi Pengrajin Miniatur Perahu Berkat Hobi Membaca

Bukanlah harta kekayaan yang membuat seseorang berbahagia di hari tua. Di usia senja, Djuhhari Witjaksono (77), pengrajin miniatur perahu tradisional Mojokerto Jawa Timur, tidak hanya memberikan keahliannya, ia juga banyak mengajarkan tentang filosofi hidup bagi karyawannya untuk mandiri.


Sekitar tahun 1950-an, Djuhhari yang aktif menjadi anggota Pramuka, bertemu dengan Bapak Pandu Pramuka se-dunia Robert Baden Powell di Surabaya. Dari hasil pertemuannya dengan pelopor pramuka tersebut, ternyata Djuhhari menyimpan kekaguman begitu dalam akan filosofi hidup sang tokoh. Secara tak sengaja, ia pun lantas tertarik dengan bacaan dunia maritim, khususnya mengenai dunia perkapalan. "Saya sangat tertegun melihat perahu yang terbuat dari kayu milik bangsa Portugis yang mampu berlayar keliling dunia dengan berbagai tantangan di laut. Kemudian saya mencoba membuat miniatur perahu itu," katanya.

Dari hobi membaca tentang buku maritim dan dunia pelayaran itulah, tercetus ide untuk membuat kerajinan miniatur perahu yang terbuat dari kayu. Namun tidaklah mudah berjalan sampai ke daratan dan berlayar sampai pantai. Agar dapat melaju diganasnya gelombang laut dan sampai ke pantai, perahu haruslah dibuat kuat dan tangguh menghadapi segala jenis gelombang. "Kesulitan membuat perahu yang kuat terletak pada tingkat kerumitannya. Saya harus bersabar dan terus mencoba menyusun satu demi satu bagian perahu. Tidak jarang pula saya harus membongkar kembali demi mendapatkan bentuk aslinya," imbuhnya.

Keluarga Besar
Djuhhari yang lahir di Malang 15 Desember 1930 dididik dalam sebuah keluarga besar. Ia mempunyai dua ayah dan tiga orang ibu. Saat itu, perekonomian keluarga menjadi masalah utama meskipun Djuhhari mengaku tidak mendapatkan masalah dalam berhubungan dengan orang tuanya. "Kedua ayah saya bekerja sebagai sopir truk, begitu juga dengan keempat saudara saya yang juga menjadi sopir, sedangkan ketiga ibu saya tidak bekerja, " kata Djuhhari yang paling muda diantara keempat saudaranya itu.
Oleh karena himpitan ekonomi membuat keempat saudaranya tidak bisa meneruskan pendidikan Sekolah Dasar, lantas mereka bekerja membantu kedua ayahnya. Kemiskinan pulalah sering membuat Djuhhari harus makan makanan kurang bergizi, yaitu nasi dan garam ataupun singkong dan garam.

Towil Pawirjo, salah seorang ayahnya meminta agar Djuhhari tetap bersekolah dan tidak bekerja di usia dini seperti keempat saudaranya. Walaupun berbagai usaha dilakukan untuk hal itu. Ia ingin agar Djuhhari tidak menjadi sopir dengan penghasilan minim. "Ayah saya bekerja sangat keras, siang dan malam demi memenuhi kebutuhan sekolah saya hingga di Sekolah Menengah Atas. Ayah saya mengajarkan kepada saya apa artinya kerja keras demi sebuah tujuan," imbuhnya sambil menghisap cerutunya. Setelah lulus dari Sekolah Tehnik Menengah, Djuhhari pun bekerja di perusahaan kontraktor jalan raya. Di sela kesibukan pekerjaanya, ia menyempatkan diri untuk mempelajari kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia. Dan setelah pensiun dari pekerjaannya, Djuhhari mulai menekuni ketrampilannya membuat miniatur perahu. Ia kemudian mengajak pemuda pengangguran yang ada di sekitar rumahnya untuk bekerja di tempatnya. "Banyak orang yang setelah pensiun ingin menikmati masa tuanya dengan tidak bekerja. Tetapi tidak bagi saya yang ingin terus bekerja demi mencapai kesuksesan bagi orang lain, " katanya.

Sukses Saat Pensiun
Setelah pensiun, Djuhhari pun mengajarkan ketrampilannya membuat miniatur perahu kepada ratusan pengangguran di sekitar rumahnya. Saat Tabloid Kerja bertandang kerumahnya, Djuhhari terlihat serius memberikan pengarahan kepada salah seorang wanita tengah baya, karyawannya yang bekerja membuat miniatur perahu tradisional ‘Dewa Ruci’ di bengkel kerajinanya. "Tiang perahu ini harus dihaluskan lagi, kemudian ditancapkan pada celah-celah bagian perahu, Ingat jangan salah menancapkannya karena akan mengubah bentuk asli perahu, " katanya kepada wanita itu.
Di bengkel kerajinannya itu tersimpan puluhan jenis perahu tradisional beraneka bentuk dan ukuran yang siap dijual. Harga masing-masing perahu berkisar antara Rp 7.500,00 hingga Rp 600 juta. Harga itu dipatok sesuai dengan tingkat kerumitan dan ukuran miniatur itu sendiri.

Selain dijual di pasar lokal, produk perahu miniatur Djuhhari juga dijual ke mancanegara. Karya buatannya pun telah diakui oleh pasar dunia. Ini terbukti Djuhhari memperoleh penghargaan di bidang Seal of Excellence for Handicrafts tahun 2006 untuk perahu tradisional kerajaan Majapahit buatannya dari United Nations Educational Sciencetific and Culture Organization.

Filosofi Hidup
Ide kreasi miniatur perahu yang dipakai pada zaman kerajaan Majapahit itu ia dapatkan setelah membaca puluhan referensi buku sejarah tentang kerajaan Majapahit yang pusat pemerintahannya berada di Trowulan, Kabupaten Mojokerto atau sekitar 20 kilometer dari kediamannya. "Dengan hasil ciptaan saya ini bisa menjadi referensi bahwa nenek moyang kita dahulu memang seorang pelaut. Ini dibuktikan dengan sejak zaman Majapahit telah membuat perahu tradisional yang bentuknya tidak kalah dengan perahu yang dibuat oleh bangsa Portugis," sergahnya.

Djuhhari yang telah memulai usahanya sejak tahun 1980 itu, selain mengajarkan tentang cara membuat kerajinan miniatur perahu, ia juga banyak mengajarkan tentang hidup bagi seluruh karyawannya. Hidupnya yang bersahaja itu ia buat untuk membantu warga disekitarnya, terlebih bagi yang belum mendapatkan pekerjaan. Begitu mulia tekadnya untuk membantu orang lain, Djuhhari pun tidak pernah melarang setiap karyawannya untuk membuka usaha sejenis. Bahkan, ia selalu mendorong karyawannya agar mandiri. Tidak segan-segan pula ia memberikan bantuan modal kepada mereka yang terampil dan siap berwiraswasta secara mandiri. Tak ayal, dari kebaikan dan kedermawanan Djuhhari, banyak mantan karyawannya yang kini telah menjadi pengusaha sukses buka usaha serupa, dan tersebar mulai dari Jawa Tengah hingga Jakarta.

0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online