my style

Malang tak dapat di tolak, untung tak dapat diraih. Maksud hati ingin mengais rejeki di negeri orang, apa daya justru kepedihanlah yang mendera.

Kisah sedih para TKI, setiap hari menghiasi media. Entah mengapa bukan kisah sukses yang menjadi inspirasi para pembaca dan pemirsa, akan tetapi kisah pilu nan tragis, membuat masyarakat trauma.

Mungkin benar istilah lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang. Buat apa hujan emas, kalau harus dibayar dengan tangisan darah. Berangkat dengan membawa segudang cita-cita dengan tekad membahagiakan keluarga, akan tetapi bukan uang dan kebahagian yang dibawa, melainkan jenazah.

Masih segar di ingatan kita akan kisah kematian Eka Yuanita, TKW asal Kembangarum, Jember. Wanita malang ini bekerja di Taiwan September 2006 silam, namun kabar mengejutkan terdengar keluarga serta menambah panjang daftar kematiam TKI di Luar Negeri. Menurut berita, Eka meninggal karena tersengat listrik, lalu apakah itu benar?

Belum jelas akan kabar kematian Eka Yuanita, nasib malang juga dialami oleh Nursiyati, TKW asal Tembokrejo, Umbulsari, Jember. Nursiyati yang berangkat ke Arab Saudi sejak April 2006, ia bekerja pada seorang majikan bejat yang memperkosanya hingga hamil. Tidak cukup sampai disitu, Nursiyati juga harus menjalani hidup di penjara dengan ancaman hukum rajam sekitar 2.000 kali. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI, Jember, telah melaporkan kasus ini kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemkab Jember. Namun sayangnya tidak mendapatkan tanggapan serius.

Masih di Jember, kisah pilu menyayat hati juga dialami oleh Riyamah. TKW dari Sumberejo, Jember ini mengalami siksaan selama delapan tahun. Seluruh keluarga dan tetangganya bahkan tak bisa mengenalinya lagi saat Riyamah kembali kekampung halamannya.

Tekad Riyamah seperti TKW kebanyakan, membantu perekonomian keluarga. Alih-alih membawa pulang hasil jerih payah keringatnya setelah bekerja delapan tahun di Jeddah, Arab Saudi, tapi justru kondisi memprihatinkan yang dia bawa. Sekujur tubuh ibu satu anak itu terdapat bekas luka sayatan mulai kaki hingga kepala. Bahkan, kedua telinganya tak utuh lagi akibat digigit sang majikan.

Bekerja menjadi TKW adalah opsi terakhir ketika pemerintah tak lagi bisa menjamin lapangan kerja. Keterbatasan ekonomi dan pendidikan yang pas-pasan membuat rakyat kecil tak lagi percaya bisa sukses di negeri sendiri. Negeri yang menjadi lahan subur korupsi. Pekerjaan sebagai pembantu atau buruh pun rela dilakoni asal bisa mendapatkan penghasilan yang layak.

TKW yang meninggal atau menderita di luar negeri adalah kisah pahit yang kesekian. Ada yang bunuh diri karena tak kuat menahan beban batin dan siksaan fisik dari majikan. Ada pula yang dibunuh oleh majikannya karena berbagai sebab. Yang selamat dan beruntung, tidak sedikit yang survive dalam keadaan cacat seumur hidup. Meski, yang sukses bekerja di luar negeri juga banyak. Namun, jika mau jujur, menjadi TKW adalah bukan cita-cita mereka. Kalau saja di negeri sendiri kesejahteraan terjamin, mereka takkan sudi jauh-jauh meninggalkan sanak kerabat menjadi pembantu.

Kembali pada derita Riyamah, ia disekap dan disiksa selama 8 tahun dan kini mengalami cacat fisik permanen. Kondisi psikologisnyapun juga terganggu. Ia berangkat secara ilegal melalui seseorang yang diduga tekong bernama Aminah warga Kecamatan Tanggul yang kemudian disalurkan ke seseorang bernama Sri dan selanjutnya diberikan ke PT Alfindo Masbuana dan ditampung di Jalan Bondet Raya 13 A Jakarta Timur selama 40 hari. Riyama ditempatkan pada 2 majikan berbeda, pertama Azzah Ugail Ali Kadasah dan kedua bernama Said Kadasah di Jedah Arab Saudi. Selama dipekerjakan Riyama tidak boleh keluar rumah dan diharuskan bekerja sejak jam 4 pagi sampai 12 malam. Akibat penyiksaan itu ia mengalami cacat fisik permanan berupa disiksa telinga lewat gigitan mulut dan nyaris terputus, jari manis kiri patah dan tidak lurus, kedua tangan sekujurnya banyak luka disiksa dengan peralatan dapur. Selain itu, bibir korban mengalami pertumbuhan tidak normal dan kedua kakinya tidak normal karena bekas guratan siksaan bahan kimia. Gaji juga tidak dibayar dengan semestinya yakni 13 ribu real dalam waktu 8 tahun, mestinya 57.600 real.

Agaknya, perhatian pemerintah tidaklah sepadan dengan pengorbanan para pahlawan devisa. Kendati Riyamah kini telah kembali ke kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga, ia banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Namun akankah itu cukup untuk menghilangkan trauma sedih diantara hati yang mendidih!? Ulfie Fachrurrazy