09 Juli 2008


Menelisik kembali tentang sejarah batik di Sidoarjo, belum jelas sejak kapan batik mulai muncul di kota ini. Banyak sumber yang menyatakan batik sudah mulai muncul sejak tahun 1920- an. Ada juga yang menyatakan batik sudah ada sejak tahun 1922- an. Tidak ada petunjuk yang menegaskan kapan kegiatan perbatikan mulai di Sidoarjo. Namun yang jelas kegiatan perbatikan di Sidoarjo memang ada dan sudah ada sejak jaman kemerdekaan. Hal ini ditegaskan dengan keberadaan sentra batik yang ada di wilayah Sidoarjo. Antara lain Desa Kedungcangkring Kecamatan Jabon, Desa Sekardangan Kecamatan Sidoarjo, dan Kampung Jetis Pekauman Kecamatan Sidoarjo.

Adalah Yazid, lelaki 57 tahun ini mengaku telah memiliki keterampilan membatik sejak kecil. Awalnya memang ia seorang petambak udang, lantaran bisnis batik sangat menggiurkan. Alhasil, tahun 1995 ia bersama istri, Maria Ulfa, membuka sentra kerajinan batik Rachmad dirumahnya. Bukan hanya di Jetis saja, akan tetapi ia mempunyai beberapa tempat kerajian di wilayah Tanggulangin, Solo, Tulungagung, untuk mensuplai order pesanan. Saat di temui oleh wartawan Tabloid Kerja di kediamannya, lelaki ini mengaku acapkali kewalahan dalam memenuhi order pesanan. “Rata-rata pesanan saya itu masih dari kalangan instansi saja, tapi saya sudah kewalahan karena kurangnya pengrajin. Jika mencari karyawan itu susah, rata-rata mereka lebih suka kerja di pabrik, sedangkan masyarakat sini pada gengsi untuk mbatik,” tegas Yazid.
Yah, batik memang sedang booming. Bukan hanya dari kalangan instansi negeri saja yang mewajibkan memakai baju batik, kalangan swasta pun terpikat dengan eksotika kain tradisional ini. Booming batik bukan hanya di Indonesia, akan tetapi sudah sampai menembus pasar mancanegara.

Menurut Yazid, dalam sebulan ia mampu meraup omset sekitar 100 juta, sebuah angka yang fantastis dari bisnis rumahan. Kendati demikian, bukan berarti ia tak punya kendala, menurutnya bisnis batiknya acapkali dijiplak oleh orang lain. “Saya susah-susah bikin batik, tapi diluar sana ada orang yang menjiplak karya saya itu dengan menyablonnya. Sebenarnya itu bukan masalah besar, tapi karena jumlahnya besar, otomatis berpengaruh juga dengan penjualan, karena mereka membandrol harga lebih murah,” tuturnya.

Sebagai bisnis rumahan, Yazid yang saat itu ditemani sang istri, mengaku sangat bersyukur karena ia tidak hanya mendapatkan penghasilan lebih untuk mencukupi keluarga, akan tetapi ia juga bisa memberdayakan beberapa karyawannya. Lelaki dengan 3 putra ini mengaku tak keberatan jika ada orang yang ingin belajar mbatik. “Saya bersedia mengajari orang mbatik sampai bisa, tapi ya gitu dia harus benar-benar bisa mbatik setelah itu dia boleh untuk membuka usaha sendiri,” terangnya.
Kegiatan membatik memang bukanlah pekerjaan mudah,butuh ketelatenan dan kesabaran supaya kain polos putih itu benar-benar menjadi kain batik. Lantaran itulah, tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan membatik. Namun terlepas dari itu, tekad Yazid benar-benar mulia untuk membantu mengurangi angka pengangguran dengan membuka kesempatan untuk belajar membatik kepadanya.

Peduli Dunia Pendidikan
Lain Yazid lain pula dengan H Nur Wahyudi, lelaki ini menuturkan bahwa usaha batiknya sudah berlangsung turun temurun, ia merupakan generasi ke 6 dalam meneruskan usaha batik keluarga di Jetis. ” Saya sudah mulai membatik sejak masih duduk bangku SMA, sekitar tahun 1973, dan sampai saat ini saya masih melanjutkan usaha batik ini,” tuturnya. Bagi Nur Wahyudi membatik lebih dari sekedar mencari nafkah. ”Sejak kecil saya sudah dikenalkan oleh keluarga pada usaha batik ini. Saya meneruskan usaha batik ini bukan karena hanya faktor ekonomi semata, namun lebih dari itu. Saya ingin melestarikan budaya leluhur saya, dan ini merupakan bukti kecintaan saya terhadap batik itu sendiri ” tambahnya.

Ternyata apa yang dilakukan Nur Wahyudi mendapat dukungan dari keluarganya. Bahkan sejak dini dia sudah mengenalkan kegiatan perbatikan ini kepada anak-anaknya. Dengan harapan agar suatu saat nanti mereka tetap meneruskan dan melestarikan usaha batik ini sebagai aset keluarga dan budaya leluhur yang berharga. ”Saya sengaja mengajak anak-anak saya untuk ikut mengerjakan batik ini, dan terlibat langsung dalam prosesnya sehingga ada penerusnya kelak,” lanjutnya.

Dalam pandangan Nur Wahyudi batik itu bisa eksis dan bertahan kalau dijadikan sebagai kegiatan utama sebagai sumber ekonomi keluarga. Tetapi jika itu hanya sekedar sebagai hobi atau pengusaha batik maka dijamin akan hilang dan musnah. ”Batik harus dijadikan sebagai penopang utama ekonomi, kalau hanya sekedar sebagai hobi, dijamin akan hilang dan musnah.” tutur pak Haji. Nur Wahyudi juga berharap agar generasi muda ikut melestarikan budaya leluhur ini, terutama para pelajar. Dia juga tidak keberatan jika ada sekolah yang bekerjasama untuk memberikan training kepada generasi muda. Hal ini sebagai bukti nyata kecintaanya terhadap batik. Bahkan dia juga bersedia menyediakan tempat usahanya sebagai tempat job training para siswa. Ulfie Fachrurrazy

0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online