20 September 2008

Mudik Lebaran bersama TKI

Tak bisa luput dari ‘Pajak Bandara’

Lebaran, hari kemenangan itu akan segera tiba, umat muslim di dunia akan segera merayakannya. Dalam momen itu, setiap negera memunyai ciri khas yang berbeda-beda. Di Indonesia, tradisi merayakan lebaran salah satunya adalah dengan cara mudik, yaitu kembali pulang ke kampung halaman bersama keluarga. Tak hanya melulu yang bekerja di kota besar dalam negeri, namun para TKI dan TKW yang mengais rejeki di negara lain pun tak mau absen dari tradisi ini.

Malam itu, saat wartawan tabloid kerja mengamati Bandar udara Juanda, terlihat tempat kedatangan international disesaki dengan penumpang yang baru saja transit dari Malaysia. Tampak seorang wanita berkulit sawo matang, berdandan ‘ngejreng’ ala Avril Lavigne, ia mengecat rambutnya dengan warna merah maroon, baju T-shirt ketat, dipadukan dengan celana Capri. Kendati demikian, ia terlihat begitu pede, walaupun semua mata yang melihatnya gayanya, pasti akan menahan tawa, karena betis yang menonjol dari celana ketat itu terlihat begitu kekar.

Pemandangan itu tak hanya tampak pada satu wanita saja, lama ia mengitari areal bandara dengan trolly yang memuat tumpukan kardus, air mukanya terlihat lega saat melihat ada sekitar 13 wanita yang berdandan sama, keluar dari pintu kedatangan. Ditengah hiruk pikuk keramaian antara penumpang dan keluarga penjemput, keramaian pun tak dapat terelakkan lagi. Mereka saling bercengkrama satu sama lain dengan gayanya.

Kelompok wanita yang baru saja datang itu, tak lain adalah para TKW dari Malaysia. Tingkah mereka yang unik, bukan saja karena pakaian yang dikenakan, tapi karena bau balsam yang masih menyengat, yang mengundang semua mata untuk mencari sumber bau, dan mengamatinya. Yang membuat semakin gemas, adalah gaya bahasa mereka yang terkadang sok melayu dengan aksen Madura. Yah, para TKW itu ternyata berasal dari Madura dan sebagian lagi dari Jember dan Kediri. Kebahagiaan mereka terpancar manakala bisa merayakan lebaran bersama keluarga di kampung halamannya.

Namun, kebahagiaan itu belum sepenuhnya diraih, manakala ada beberapa petugas imigrasi yang menghampiri mereka. Dengan ramah, agaknya mereka menawarkan “sesuatu”. Setelah melalui pemeriksaan paspor itu, mereka dicegat dan digiring lagi ke loket penukaran uang, mereka tidak tahu bahwa rate yang dipasang sangat tinggi dan hampir tidak masuk akal.

Tak berhenti di situ, karena barang bawaannya yang menggunung di atas trolly, tentu saja itu mengundang mata para porter, belum lagi para sopir taksi. Silih berganti mereka menawarkan jasanya, dengan tak henti-henti merayu para TKW. Sebagian dari para TKW, ada yang termakan rayuan mereka. Agak sedikit keberatan, TKW itu merelakan barangnya dijinjing si porter, ia mengikutinya dari belakang menuju kendaraan travel yang sudah dipilih. Tentu saja, jika barang itu sudah berada di tangan mereka, akan sangat susah untuk mengambil kembali tanpa memberi sejumlah uang, parahnya lagi tarifnya terkadang tak masuk akal. Beruntung, sebagian TKW itu ada keluarganya yang sedang menjemput, hingga mereka tak sampai kena ‘pajak bandara’ lagi.

Pemandangan malam di bandara Juanda tak hanya berhenti disitu, tabloid Kerja mengamati ada seorang lelaki yang sedang celingukan mencari sesuatu, karena sikapnya tersebut, tak ayal ia menjadi target empuk para oknum. Lelaki 30 tahun itu tadinya satu rombongan pesawat dengan para TKW yang telah berlalu. Sepetinya dia tengah menanti seseorang yang tak kunjung datang. Hanya beberapa menit, ada tiga orang yang mengerubutinya. Bergantian mereka menawari jasa, lelaki itu sangat pasif, hingga ia tak bisa berbuat apa-apa manakala seorang porter mengangkat kopernya. Beruntung, tak berapa lama ia melihat keluarganya datang. Agaknya sejak awal ia telah menunggu jemputan dari keluarganya yang datang terlambat. Kendati demikian, ia telah terlanjur menerima jasa dari porter, ia pun harus membayar ongkos sebesar 100ribu. “Tadinya ia malah minta 200ribu mbak, nggak tak kasih sama saya, lawong cuma beberapa meter ngangkat koper aja minta 200ribu, wong saya jadi kuli batu di Malaysia aja sehari kadang dapatnya cuma 100 ribu tok!” tutur Kholiq, TKI asal Lamongan.

Masih menurut Kholiq, setiap datang ia sebenarnya harus dipungut Rp 25 ribu. Padahal sebelum berangkat sudah dipungut US$ 15 untuk subsidi. Belum termasuk sekitar Rp 5 juta untuk pengurusan paspor dan administrasi lainnya. Resminya, pengantaran ke daerah seperti Lamongan biasanya hanya Rp 400 ribu, namun tak jarang yang apes kehilangan sampai Rp 1 juta. Kenyataan itu bisa dikalkulasi, dengan traffic TKI/TKW yang 500 orang per hari atau 2 ribu orang per hari seperti saat ini, uang yang dihasilkan dari pemerasan para TKI dan TKW bisa mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah.

Pengalaman buruk di bandara, mungkin hampir semuanya pernah dialami oleh para pahlawan devisa negara. Kebetulan karena malam, jadi praktek-praktek semacam ini agak sedikit berkurang. Lain lagi ceritanya jika momen mudik di bandara terjadi di siang hari, praktek-praktek ini akan terjadi lebih heboh lagi. Pertanyaannya, apakah benar bahwa di dalam bandara memang ada konspirasi besar yang terorganisir dalam memeras para pahlawan devisa kita? Semoga, momen mudik lebaran kali ini, semuanya dijauhkan dari segala praktek penipuan. Amin. Ulfie Fachrurrazy

0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online