20 September 2008

Berbicara tentang para pemudik, banyak hal yang menarik untuk dicermati dari mereka. Performa yang telah mereka bangun, mampu mencerminkan pribadi sukses, mandiri, dan bersatus tinggi, kaya. Pencitraan sukses karena merantau, mampu menarik perhatian dan minat masayarakat untuk turut serta. Dengan alasan merubah nasib, arus urbanisasi ke kota besar-pun tak dapat dihindari. Lalu, apakah ada solusi agar bisa mengurangi angka urbanisasi setiap tahunnya?


Jika menelisik lebih dalam akan prilaku pemudik, yang kerap menjadi pusat perhatian bagi lingkungannya. Agaknya hal itu bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban ‘dipaksakan’ menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan ‘kodratnya.’ Hubungan-hubungan sosial di perkotaan (tempat mereka mengais rejeki), berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan, yang lebih menekankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Solidaritas ala masyarakat perkotaan lebih didasarkan pada hubungan pekerjaan dan kepentingan (vested interest), terutama kepentingan ekonomi. Akibatnya, masyarakat urban dituntut untuk kerja keras dan menghargai waktu jika tidak ingin terlindas roda zaman. Inilah yang mendorong mereka untuk, paling tidak, memuaskan hasratnya untuk menikmati hasil jerih payah atas kerja keras yang sudah ia lakukan saat berada di kampung halaman.


Permasalahan yang timbul kemudian adalah selama mereka mudik, perilaku mereka telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa. Demonstration effect kaum urban telah memikat penduduk desa yang rata-rata menghadapi problem keterbatasan lapangan kerja, seiring dengan makin langkanya areal pertanian. Menurut Pakar Psikologi Universitas 17 Agustus, Andik Matulessy, rata –rata orang desa, kebanyakan tidak mempunyai kapabilitas pendidikan tinggi serta tidak kompeten pada sebuah bidang pekerjaan. “Jika mereka melihat ada temannya sukses, ia kemudian tertarik dan mengikuti jejaknya, padahal sama sekali ia tidak kompeten pada bidang pekerjaan tertentu, apalagi ditambah dengan minimnya pendidikan mereka,” tegas Andik.


Marak

Akhirnya, urbanisasi menjadi satu-satunya pilihan untuk mengubah nasib. Sektor pertanian yang selama ini digeluti, dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak prospektif lagi. Fenomena ini nyata membawa implikasi buruk bagi peningkatan aktivitas di sektor informal perkotaan. Kota menjadi tumpuan harapan bagi kaum urban. Berbagai persoalan muncul, manakala kaum urban tidak mempunyai keterampilan. Menurut Andik, masalah ini akan berpotensi pada maraknya tindak kriminal, meledaknya penganguran, dan menjamurnya perkampungan kumuh. “Masayakat urban yang tidak memiliki keterampilan, jelas mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia menjadi shock dengan kehidupan kota yang begitu keras. Akhirnya, iapun menjadi sampah masyarakat, berprofesi sebagai PSK, pengemis, pencopet, dan lainnya,” kata Andik.


Dalam sebuah buku yang berjudul Cities, Poverty and Development Urbanization in the Third World, Gilbert dan Gigler, seperti dikutip M. Sufyan, ada beberapa bukti yang menyebutkan, bahwa alasan utama urbanisasi adalah masalah ekonomi. Kuatnya variabel ekonomi sebagai alasan orang berurbanisasi. Kebetulan, fenomena urbanisasi banyak dijumpai di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Karena Negara-negara tersebut relative masih miskin ketimbang di Negara bagian utara (Eropa dan Amerika Utara). Lebih lanjut, M. Sufyan memaparkan fakta bahwa perbedaan pendapatan yang tajam antara desa dan kota telah memperlicin jalan maraknya urbanisasi.


Solusi

Lalu bagaimanakah solusinya, apakah mungkin arus urbanisasi bisa dikurangi? Andik Matulessy menegaskan bahwa segalanya bisa menjadi mungkin, asal investasi pemerintah dan pengusaha tidak terpusat dikota. “Sudah saatnya pemerintah dan para pengusaha itu untuk tidak memikirkan keuntungan semata, harusnya investasi itu tidak hanya terpusat dikota, melainkan juga harus menetes di daerah pedesaan. Jika investasi dan pembangunan masih saja terpusat di perkotaan, maka jangan harap kita bisa memotong arus urbanisasi,” terang Andik.


Lelaki penghobi travelling ini juga menambahkan, bahwa sebenarnya dengan banyaknya arus urbanisasi, secara langsung itu akan membebani pembangunan kota, karena sebenarnya, kota itu sudah dirancang, baik kapasitas, pemukiman, kebutuhan pangan, dan lain-lain. Agar arus urbanisasi setiap hari tidak bertambah, secepatnya harus dibangun sebuah peluang-peluang pekerjaan di pedesaan. “Mulai kini, perusahaan harus bisa membuka sebuah peluang ataupun lapangan pekerjaan yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Misalnya pabrik, home industri ataupun peluang usaha lain yang bisa memberdayakan masayarakat desa.” pungkas Andik. Ulfie Fachrurrazy

Tak bisa luput dari ‘Pajak Bandara’

Lebaran, hari kemenangan itu akan segera tiba, umat muslim di dunia akan segera merayakannya. Dalam momen itu, setiap negera memunyai ciri khas yang berbeda-beda. Di Indonesia, tradisi merayakan lebaran salah satunya adalah dengan cara mudik, yaitu kembali pulang ke kampung halaman bersama keluarga. Tak hanya melulu yang bekerja di kota besar dalam negeri, namun para TKI dan TKW yang mengais rejeki di negara lain pun tak mau absen dari tradisi ini.

Malam itu, saat wartawan tabloid kerja mengamati Bandar udara Juanda, terlihat tempat kedatangan international disesaki dengan penumpang yang baru saja transit dari Malaysia. Tampak seorang wanita berkulit sawo matang, berdandan ‘ngejreng’ ala Avril Lavigne, ia mengecat rambutnya dengan warna merah maroon, baju T-shirt ketat, dipadukan dengan celana Capri. Kendati demikian, ia terlihat begitu pede, walaupun semua mata yang melihatnya gayanya, pasti akan menahan tawa, karena betis yang menonjol dari celana ketat itu terlihat begitu kekar.

Pemandangan itu tak hanya tampak pada satu wanita saja, lama ia mengitari areal bandara dengan trolly yang memuat tumpukan kardus, air mukanya terlihat lega saat melihat ada sekitar 13 wanita yang berdandan sama, keluar dari pintu kedatangan. Ditengah hiruk pikuk keramaian antara penumpang dan keluarga penjemput, keramaian pun tak dapat terelakkan lagi. Mereka saling bercengkrama satu sama lain dengan gayanya.

Kelompok wanita yang baru saja datang itu, tak lain adalah para TKW dari Malaysia. Tingkah mereka yang unik, bukan saja karena pakaian yang dikenakan, tapi karena bau balsam yang masih menyengat, yang mengundang semua mata untuk mencari sumber bau, dan mengamatinya. Yang membuat semakin gemas, adalah gaya bahasa mereka yang terkadang sok melayu dengan aksen Madura. Yah, para TKW itu ternyata berasal dari Madura dan sebagian lagi dari Jember dan Kediri. Kebahagiaan mereka terpancar manakala bisa merayakan lebaran bersama keluarga di kampung halamannya.

Namun, kebahagiaan itu belum sepenuhnya diraih, manakala ada beberapa petugas imigrasi yang menghampiri mereka. Dengan ramah, agaknya mereka menawarkan “sesuatu”. Setelah melalui pemeriksaan paspor itu, mereka dicegat dan digiring lagi ke loket penukaran uang, mereka tidak tahu bahwa rate yang dipasang sangat tinggi dan hampir tidak masuk akal.

Tak berhenti di situ, karena barang bawaannya yang menggunung di atas trolly, tentu saja itu mengundang mata para porter, belum lagi para sopir taksi. Silih berganti mereka menawarkan jasanya, dengan tak henti-henti merayu para TKW. Sebagian dari para TKW, ada yang termakan rayuan mereka. Agak sedikit keberatan, TKW itu merelakan barangnya dijinjing si porter, ia mengikutinya dari belakang menuju kendaraan travel yang sudah dipilih. Tentu saja, jika barang itu sudah berada di tangan mereka, akan sangat susah untuk mengambil kembali tanpa memberi sejumlah uang, parahnya lagi tarifnya terkadang tak masuk akal. Beruntung, sebagian TKW itu ada keluarganya yang sedang menjemput, hingga mereka tak sampai kena ‘pajak bandara’ lagi.

Pemandangan malam di bandara Juanda tak hanya berhenti disitu, tabloid Kerja mengamati ada seorang lelaki yang sedang celingukan mencari sesuatu, karena sikapnya tersebut, tak ayal ia menjadi target empuk para oknum. Lelaki 30 tahun itu tadinya satu rombongan pesawat dengan para TKW yang telah berlalu. Sepetinya dia tengah menanti seseorang yang tak kunjung datang. Hanya beberapa menit, ada tiga orang yang mengerubutinya. Bergantian mereka menawari jasa, lelaki itu sangat pasif, hingga ia tak bisa berbuat apa-apa manakala seorang porter mengangkat kopernya. Beruntung, tak berapa lama ia melihat keluarganya datang. Agaknya sejak awal ia telah menunggu jemputan dari keluarganya yang datang terlambat. Kendati demikian, ia telah terlanjur menerima jasa dari porter, ia pun harus membayar ongkos sebesar 100ribu. “Tadinya ia malah minta 200ribu mbak, nggak tak kasih sama saya, lawong cuma beberapa meter ngangkat koper aja minta 200ribu, wong saya jadi kuli batu di Malaysia aja sehari kadang dapatnya cuma 100 ribu tok!” tutur Kholiq, TKI asal Lamongan.

Masih menurut Kholiq, setiap datang ia sebenarnya harus dipungut Rp 25 ribu. Padahal sebelum berangkat sudah dipungut US$ 15 untuk subsidi. Belum termasuk sekitar Rp 5 juta untuk pengurusan paspor dan administrasi lainnya. Resminya, pengantaran ke daerah seperti Lamongan biasanya hanya Rp 400 ribu, namun tak jarang yang apes kehilangan sampai Rp 1 juta. Kenyataan itu bisa dikalkulasi, dengan traffic TKI/TKW yang 500 orang per hari atau 2 ribu orang per hari seperti saat ini, uang yang dihasilkan dari pemerasan para TKI dan TKW bisa mencapai ratusan juta bahkan milyaran rupiah.

Pengalaman buruk di bandara, mungkin hampir semuanya pernah dialami oleh para pahlawan devisa negara. Kebetulan karena malam, jadi praktek-praktek semacam ini agak sedikit berkurang. Lain lagi ceritanya jika momen mudik di bandara terjadi di siang hari, praktek-praktek ini akan terjadi lebih heboh lagi. Pertanyaannya, apakah benar bahwa di dalam bandara memang ada konspirasi besar yang terorganisir dalam memeras para pahlawan devisa kita? Semoga, momen mudik lebaran kali ini, semuanya dijauhkan dari segala praktek penipuan. Amin. Ulfie Fachrurrazy

SUKSES TANPA IMPIAN

Semua orang tahu, siapakah Anne Avantie sebagai sosok ikon kebaya Indonesia. Di balik kesuksesannya, sedikit orang yang tahu akan perjalan karirnya. Figur fesyen yang tertuang dalam setiap karyanya, terajut oleh pengalaman hidup yang sarat dengan perjuangan dan air mata.


Tak banyak yang tahu, di balik kesuksesan yang telah diraih Anne Avantie, ternyata dalam perjalanan karirnya, ia memiliki masa lalu yang cukup pahit. Kesuksesan yang saat ini ia renggut, ia lewati dengan banyak pengorbanan. Dalam sebuah wawancara di stasiun radio swasta yang bertemakan ‘The Famous Indonesian Designer’, pemilik nama asli Sianne Avantie ini, dalam perjalanan karirnya akrab ditemani dengan rintangan dan penderitaan.

Istri dari Joseph Henry ini mengaku, sejak dulu ia takut menggapai impiannya karena keterbatasan pendidikan. Ia hanya seorang lulusan SMA, dan tidak pernah mengenyam pendidikan tentang menjahit, memotong ataupun pecah mode. “Saya adalah sesorang yang tidak punya cita-cita, karena saya menyadari bahwa yang ada pada diri saya semuanya serba terbatas. Saya tidak pernah kuliah ataupun mengikuti kursus dan program keahlian apapun tentang mode. Saya dibesarkan dilingkungan keluarga yang tidak utuh. Saya memiliki keterbatasan yang sangat luar biasa daripada teman-teman saya lainnya,” Tutur Anne.


Talent

Kendati tak pernah mengenyam pendidikan tentang fesyen, namun darah seni yang mengalir di keluarganya, mengalir pula pada dirinya. Ketika duduk di bangku SMP, muncul kegemarannya pada dunia mode. Ia kerap melihat aktifitas ibunya, dan membantu menjahit. Tanpa disadari, belakangan darah seni itupun mengalir pada diri putri pertamanya Intan Avantie. “Kami ini keluarga seni, hobi saya sejak kelas 3 SMP, ibu suka buat baju tari, dan saya suka bantu ibu, kemudian kemampuan saya pun berkembang,” tutur wanita asal Semarang ini.

Sulung 3 bersaudara ini mengaku bahwa semua yang sudah didapat, ia awali dengan sebuah kebingungan, dimana ia harus belajar untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarganya. Saat itu ia mengalami masa-masa yang sangat sulit, hingga setelah tamat SMA, keinginannya makin kuat untuk mengembangkan minatnya pada dunia mode. Lagi-lagi meskipun ia tak punya kemampuan menjahit atau bahkan membuat pola. “Saat itu saya berada pada kehidupan yang sangat-sangat sulit, pada tahun 1983 hingga 1985, kondisi keluaga saya sangat tidak mendukung karena banyaknya permasalahan. Saya dituntut untuk bagaimana caranya saya bisa mendapatkan uang untuk menafkahi keluarga, satu-satunya cara adalah dengan memfokuskan talent saya untuk bekerja,” kenangnya.


Akhirnya, dengan bekal keyakinan dan tekad yang kuat dari diri dan suaminya, ia mulai membuka usaha modiste yang diberi nama Griya Busana Permata Sari. Dengan hanya modal 3 mesin jahit manual, ia sangat yakin bahwa Tuhan akan memberikan jalan pada setiap umatnya yang mau berusaha keras. “Saya tidak bisa menjahit, memotong, atau pecah model, tapi saya punya keyakinan dan kepercayaan bahwa setiap manusia tidak akan pernah ditinggaklakn oleh Tuhan sejenggkal pun, tangan kita pasti akan dibimbing asal kita punya tujuan untuk mengabdi pada Tuhan lewat talent/ kemampuan yang kita miliki. Saya mengawali usaha saya, semuanya secara manual di garasi. Obras pun saya diluar karena saya belum memiliki mesin obras. Saat itu tidak ada keinginan ataupun cita-cita untuk menjadi seorang Desainer. Tujuan saya cuma ingin mencari nafkah, dapat uang untuk menafkahi anak2 saya, dan keluarga saya,” terangnya.


Cobaan

Seiring berjalannya waktu, usaha Anne semakin menanjak. Namun pada tahun 1993, ia mendapatkan sebuah cobaan yang sagat berat. Usaha yang telah dibangunnya dari awal, habis seketika manakala ia beralih melakukan bisnis jual beli permata. Anehnya, apa yang dialami Anne saat itu, ia rasakan menjadi masa yang sangat indah yang takkan pernah ia lupakan. Kendati ia harus mengawali lagi dari bawah, hinaan dan cercaan dari lingkungan sekitarnya, ia merasa masa itu menjadi kenangan yang tak mudah untuk dilupakan. Saat itulah, sebagai penganut Katolik yang taat, ia merasa semakin dekat pada Tuhan, dan iapun menjadi Anne Avantie yang sebenarnya. “Apa yang sudah saya capai, semuanya luluh lantak tak tersisa, saya kembali berada di titik nol. Tapi saat itu, saat yang sangat indah dalam hidup saya karena saya muncul sebagai pribadi yang sebanarnya. Saya benar-benar hidup di alam nyata, inilah hidup, tidak punya uang, dicai maki orang, ditekan, disingkirkan. Tapi disitulah, hati saya tumbuh berkembang dengan sangat bagus. Apa yang telah saya lalui di tahun 1993 sampai 1996 itu menjadi pelajaran yang sangat berharga, mungkin saya tidak akan bicara dan tidak akan pernah menyadari bahwa sebenarnya saya sangat rendah dimata Tuhan. Tuhan telah memberikan kepada saya berkah terselubung melalui penderitaan, dan masalah melalui yang saya hadapi. Sehingga saat ini saya tidak lagi bingung mencari materi, dan popularitas. Buat saya kepicikan cuma alat untuk menjadi sebuah pribadi yang munafik. Ulfie Fachrurrazy

19 September 2008

Usaha Selebriti

ANYA DWINOV, BISNIS JADI TUKANG CUCI

Banyaknya para designer membuat pakaian dari bermacam jenis bahan dan ‘agak’ mengesampingkan masalah perawatannya, tampaknya itu menjadi peluang bisnis bagi Anya Dwinov. Presenter cantik ini membuka usaha jasa laundry bernama Essii Laundry, di Kawasan Cikajang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Anya Dwinov, presenter kenes ini sebelum menekuni bisnis jasa, ia sudah jualan aneka tas dari kulit ular. Kendati demikian, ia tetap belum puas untuk menambah pundit-pundi emasnya dengan menekuni bisnis lagi dibidang jasa laundry. Berawal dari kebutuhannya terhadap jasa cuci-mencuci serta menjadi salah satu klien perusahaan laundry, pemilik nama lengkap Anya Dwi Novita Pahlawanti pun memutuskan terjun langsung menjadi ‘tukang cuci’. “Saat itu ada saham yang dijual oleh salah satu pemegangnya karena alasan pindah ke luar kota maka tawaran itu diberikan ke saya” cerita Anya membuka pembicaraan.

PT. Essii International didirikan pada 24 Februari 2005 lalu, namun mulai beroperasi secara komersil sejak 5 September 2005. “Saya bergabung bulan April 2006. Jadi, laundry ini sudah lama berjalan. Sejak saat itu pula menjadi awal untuk merubah seluruh signboard dan neon box Essii Laundry,” jelas Anya bersemangat.

Sebagai perusahaan pendatang baru di bidang laundry and dry clean di Jakarta, Essii telah mempunyai jumlah pelanggan sebanyak 3.915 orang, terhitung Desember 2006. Apa rahasia dibalik kesuksesan usaha tersebut?. Salah satu yang diterapkan adalah menerima jenis-jenis pakaian yang dapat diproses antara lain stelan jas, celana, kemeja, mote atau payet, bahan suede and leather, wool, crayon, cotton, nylon, parasut. Essii pun menerima tas branded international, sepatu kulit, house hold, serta boneka. “Percayakan semua karena Essii can wash all kind of materials,” katanya berpromosi.

Tak hanya itu, Essii pun berani memberikan 100 persen guarantee jika terjadi kerusakan pada barang apabila ada kesalahan pada proses pencucian . Bahkan tak tanggung-tanggung, penggantian tersebut melebihi jasa laundry pada umumnya, yang hanya mampu mengganti 10 kali lipat dari ongkos jasanya. ”Essii berkomitmen untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada para pelanggan dengan memprioritaskan keamanan dan kebersihan pakaian” kata perempuan kelahiran 10 November 1982 ini.

Lalu, berapa investasi yang dikeluarkan?.”Wah, itu rahasia perusahaan. Tetapi dengan ketekunan saya dan tim sukses (karyawan-red), modal tersebut kembali dengan memuaskan” terang Anya. Kini Essii mampu mempekerjakan 40 karyawan dari semua outlet yang tersebar. “Ini merupakan keinginan saya untuk mempekerjakan orang lain sehingga mengurangi jumlah pengangguran dan membentuk lapangan pekerjaan baru”. Hal tersebut diperluas lagi dengan membuat sistem franchise. Ayo sia mau bergabung? Fie


Bisnis butik milik selebritas bukan hal yang aneh lagi. Namun Cynthia Lamusu menawarkan produk yang berbeda dibandingkan butik milik artis lainnya.

Trend bisnis buka butik di kalangan selebritis tampaknya belum surut. Salah satunya Cynthia Lamusu yang mulai berekspansi, selain membuka gerai di sejumlah mall, kini penyanyi cantik tersebut membuka butik baru berlabel House of Lamusch.
“Sekarang ini, aku memberanikan diri membuka butik sekaligus menjadi desainernya. Dan hasil rancangan tersebut dibikin label sendiri. Ya, kira-kira satu tahun belakangan ini aku memang menemukan hobi baru, yaitu desain. Menurut aku, untuk memuaskannya harus diseriusin. Ditambah hobi suka belanja, jadilah House of Lamusch ini,” ungkap Cynthia.

Butik yang berdiri setahun lalu tersebut beralamat berada di seputar Bangka Raya, Jakarta Selatan ini, berbeda dengan butik-butik yang sebelumnya. Ia menambahkan, koleksi pakaian yang ada di House of Lamusch bersifat lebih glamour. ”Yang pasti classy, simpel, anggun, dan cantik. Kalau warna, tergantung. Sebab, aku kan orangnya moody-an. Aku juga tidak mau semua hanya berdasarkan keinginanku. Aku juga harus melihat pasar,” tutur personel AB Three ini.

Ia menegaskan, konsep yang ditawarkan di House of Lamusch adalah one stop service untuk perempuan, baik wanita dewasa atau remaja. Jadi para perempuan yang ada acara khusus, dan tidak tahu harus memakai pakaian seperti apa, bagaimana make up-nya, atau pun tata rambutnya bisa dikonsultasikan. “Tapi by appointment,” tambahnya.

Untuk koleksi pakaian ready to wear-nya, House of Lamusch menyediakan pakaian-pakaian dengan merek internasional, seperti Marc Jacobs, Diane Von Furstenderg, Moschino, dan banyak lagi. Selain itu, House of Lamusch juga menyediakan pakian yang ber-label Lamusch.

Di butik House of Lamusch, selain menyediakan pakaian-pakaian ready to wear dengan desain yang beragam, juga menyediakan layanan custom made, di mana costumers bisa memesan pakaian dengan desain yang eksklusif. “Jadi kita hanya buat desain itu untuk satu orang saja,” ungkap istri Surya Saputra ini.
Selain pakaian, aneka jenis clutch, sepatu, dan aksesoris juga bisa ditemukan di House of Lamusch. “Clutch tuh sekarang kan lagi in banget. Jadi aku sediain juga di sini. Ada yang dari kulit ular dan buaya, terus dipayet. Payetnya dijahit, bukan dilem, jadi lebih kuat dan tahan lama,” promosinya.

Perempuan keturunan Sulawesi ini pun menginginkan, butik yang didirikannya harus berbeda dengan butik-butik yang ada. Selain masih jarangnya konsep one stop service, ia pun tetap menggunakan bahan tradisional asli Indonesia seperti batik, songket dan lainnya sebagai bahan pakaian rancangannya. “Aku ingin ada ciri khasnya,” pungkasnya.

 

blogger templates | Make Money Online